Minggu, 09 Agustus 2015

MARXISME DAN MAKRIFAT



“Wie, goed Mohammedaan is, is van zelf socialist en wij zijn Mohammedanen, dus zijn wij socialisten.”
Kata-kata itu sering diulang-ulang oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada awal abad ke-20. Dan dia bukan hanya menadaruskan itu secara lisan, melainkan juga menuliskannya. Pada 1924, Tjokro menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Dalam kursus-kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam, Tjokro selalu memberikan kursus mengenai sosialisme.Pada 1951, ketika mengenangkan Tjokro, Buya Hamka menulis:
“Beliau dalam kursusnya tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya, sebab teori Historis Materialisme Marx dan Engels—kata beliau—telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.”
Apa yang disampaikan oleh Tjokro itu belakangan kembali diulang oleh Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka. Dalam karyanya, “Semangat Moeda” (1926), Tan Malaka menulis bahwa agar kaum nasionalis dan kaum Muslim mengerti mengenai proses kolonialisme yang sedang membelenggu negerinya, maka mereka harus belajar Marxisme. Tanpa memahami Marxisme, mereka akan bingung memetakan persoalan politik dan ekonomi yang membelenggu mereka. Dia menulis:
“… oleh karena Nasionalis atau Islamis di negeri kita tak sepeser mengerti Marxisme, yakni keadaan dan kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan berhubung dengan itu politiknya kasta, maka mereka tentu masih bingung, tak mengerti apa-apa…”
Apa yang disampaikan oleh Tjokro dan Tan Malaka itu mengingatkan saya kembali pada percakapan via surel (email) dengan Buya Syafii Maarif mungkin dua tahun silam, ketika saya tertarik membahas Teologi al-Ma’un dan pemikiran Moeslim Abdurrahman. Ada satu ‘highlight’ yang selalu saya catat dari percakapan dengan Buya Syafii itu, bahwa kebanyakan kaum Muslim di Indonesia, mayoritas adalah "Islam Madaniyah", yaitu mereka yang terlalu asyik pada urusan "teologisme" sebagaimana ditadaruskan surat-surat Madaniyah.
Kebanyakan kita sering lupa pada surat-surat Makiyah, yang lahir di tengah kondisi Makah yang penuh penindasan, ketimpangan dan eksploitasi ekonomi, yang oleh karenanya lebih "materialis" dan "historis". Dawam Rahardjo menyebut bahwa surat-surat Makiyah itu sebagai sangat “Marxis”.
Dominannya corak “Islam Madaniyah” telah membuat banyak kaum Muslim gagal untuk terlibat dalam persoalan-persoalan historis kemasyarakatan yang mem-“bumi”, dan lebih banyak terjebak pada percekcokan teologis yang me-“langit”.
Ketika dalam sebuah kesempatan saya mengantarkan Dawam bertandang ke rumah Syafii yang tenang di Nogotirto, menyimak keduanya berbincang mengenai Marxisme, sosialisme, dan Islam, sungguh-sungguh menarik. Dawam adalah seorang Solo, sementara Syafii adalah seorang Minang. Ada satu momen dimana saya dan Dawam tertawa terpingkal-pingkal ketika pada suatu ketika Buya Syafii, ini bahasa saya, menunjukkan sisa-sisa “watak Paderi”-nya.
“Menurut saya, Mas Dawam, jika kita mendalami betul surah-surah Makiyah, sebenarnya tidak perlu belajar Marxis untuk menjadi revolusioner.”
Tentu saja kami terbahak mendengarnya.
Percakapan keduanya kala itu juga selalu mengingatkan saya kepada interpretasi Hidajat Nataatmadja (1932-2009) atas peristiwa Isra dan Mi'raj. Ketika Mi'raj, demikian Hidayat, Nabi dilarang untuk mendekati sebuah pohon, yaitu pohon "sidrah", yang menurut Hidayat adalah nama lain dari pohon "bodhi". Nabi dilarang mendekati pohon itu karena ia diminta oleh Allah untuk menjadi "khalifah di bumi", dan bukan "khalifah di langit".
Kalau kita tarik ke belakang, sebelum di-Mi'raj-kan, Nabi memang terlebih dahulu di-Isra-kan. Secara metaforik, menurut Hidajat, baru sesudah menjelajah bumi, kemudian barulah Nabi dinaikan ke langit.
Renungan yang kini mestinya menguntit kita adalah: bagaimana bisa kita memimpikan surga di akhirat, ketika tangan kita mencipta “neraka” (baca: kekacauan, perselisihan) di bumi?! Bagaimana bisa kita mengharapkan "jannah" di langit, ketika kita tidak terlibat dalam membangun "jannah" di bumi?!
Sampai di sini, saya akan kembali teringat kepada puisi “Daun Makrifat, Makrifat Daun” yang ditulis Kuntowijoyo (1943-2005).
“Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
sampai dhuafa dan mustadh'afin
diangkat Tuhan dari penderitaan”

Tulisan ini di ambil dari laman facebook : Tarli Nugraha

Senin, 03 Agustus 2015

On The Fear of Expectation

         Tidak ada satu pun,anak yang lahir dari rahim seorang perempuan meminta untuk lahir,tidak ada satu pun anak yang dapat memilih lingkungan seperti apa yang kelak akan menemani hidupnya,tidak ada satu pun anak yang kelak akan menjadi manusia dapat memlih terlahir sebagai seorang muslim, kristen, yahudi, hindu,jawa, batak, negro,melayu maupun seorang yang terlahir dalam sebuah keluarga dan lingkungan primitif.
          Pada dasarnya seorang anak hanyalah seorang yang tidak tahu apa-apa terhadap ekpektasi yang diinginkan orang tua kelak ketika dewasa.Dunia yang menuntut setiap manusia agar segalanya harus sempurna adalah sebuah hantu yang selalu membuat setiap manusia tidak dapat merasakan betapa indahnya panorama langit senja di setiap sudut sore belahan bumi.
          Keturunan Adam yang tanpa perasaan menumpahkan air kehidupan ke dalam telaga Hawa sesungguhnya adalah suatu bencana kemanusiaan dalam sejarah hidupnya sendiri. Betapa mudahnya keturunan Adam dan Hawa bersenang-senang lalu meninggalkan tanggung jawab atas nafsu kilat mereka adalah bukti betapa mengerikannya sisi gelap setiap manusia.
          Tuhan tidak akan pernah berbicara langsung terus terang kepada manusia,Tuhan seakan meninggalkan manusia dan hanya meninggalkan kalimat-kalimat dialogNya kepada segilintir manusia di Dunia.Kumpulan kalimat yang pada akhirnya terangkum menjadi sebuah buku yang merupakan kitab suci.Namun manusia tetaplah manusia, manusia pada akhirnya lah pula yang merusak indahnya kalimat suci Tuhan.  Bukankah manusia itu sendiri yang selalu menghiasi isi kitab suci melalui tumpahan darah,tindakan keji,dan pada akhirnya satu per satu manusia mulai berpaling dari kitab suci.
         










On The Delusion of God’s Light

            Dalam tulisan ini saya akan mencantumkan beberapa budaya-budaya dan fenomena sosial yang ditimbulkan oleh sosok Tuhan teutama yang selama ini terjadi lingkungan hidup yang saya alami.Pertama saya akan mengeluarkan semua hal yang ada di dalam pikiran saya selama saya hidup selama delapan belas tahun ini,dimulai ketika saya dilahirkan tahun 1996 sampai pada tahun ini 2015.
Baiklah,saya adalah anak pertama dari dua bersaudara.Kebetulan saya dilahirkan di keluarga muslim yang bisa dibilang taat,sejak kecil saya diajarkan berbagai cara hidup atas dasar perintah Islam.Hampir setiap sore ketika saya mulai memasuki umur lima tahun selalu mengikuti acara rutin TPA (Tempat Pendidikan Al-Quran).Keingintahuan saya mengenai hal-hal yang baru sangat kuat sekali.Bahkan saya masih ingat ketika memasuki sekolah dasar di kelas satu waktu pelajaran pendidikan agama Islam,dengan penuh keheranan ketiks guru menjelaskan sosok Tuhan saya langsung bertanya,”Bu,Tuhan itu seperti apa,ada di mana?” sontak guru pun menjelaskan sosok Tuhan yang berbeda dari ciptaanya,tinggal di atas arsy,katanya.
Memasuki SMP saya masihlah seorang yang dapat di bilang rajin sembahyang kepada Tuhan,hampir setiap terdengar suara adzan,saya langsung pergi ke Masjid.Masa-masa SMP adalah masa dimana saya merasakan bahwa saya begitu spesial karena selalu rajin beribadah, masa dimana saya menganggap muslim adalah yang terbaik, hanya muslim yang masuk surga, masa dimana saya mempercayai sosok Tuhan seperti apa yang selalu di munculkan di dalam otak saya, dengan penuh keyakinan saya selalu menantikan adzan panggilan untuk shalat.
Lalu masa-masa seperti itu perlahan mulai kabur seiring saya mulai mengenal berbagai budaya di dunia,berbagai agama,berbagai pandangan filosofi manusia hebat di eropa,arab,asia,dan sejarah Tuhan selama kemunculan awal manusia sampai abad milenium.Masa ini adalah ketika saya mulai memasuki kehidupan SMA di mulai dengan ketertarikan terhadap komunisme,atheisme,dan filsafat akhirnya mengantarkan saya pada pandangan bahwa Tuhan itu ada namun tidak dapat dijangkau manusia.Dimulai dengan pola pikir saya bahwa jika Tuhan seorang muslim itu adalah yang paling benar maka bagaimana dengan nasib non-muslim,apakah Tuhan akan dengan mudahnya melemparkan mereka ke dalam neraka,bagaimana jika non-muslim tersebut secara kebetulan lahir di Bali beragama Hindu namun memiliki etika moral,seorang humanist,dan bahkan seorang donatur kemanusiaan yang baik,apakah juga akan dilemparkan ke neraka hanya karena dia adalah non-muslim.

Dijelaskan Tuhan dalam versi Islam dan Samawi adalah Maha atas Segalanya,bahkan dikatakan bahwa Tuhan telah menuliskan takdir yang manusia jauh hari sebelum manusia memiliki ruh.Lalu jika benar bahwa Tuhan telah menuliskan semua takdir manusia jadi bukanlah kesalahan manusia jika kelak manusia tidak mengenal Tuhanya dan secara kebetulan terlahir sebagai non-muslim.
Agama yang selama ini dibanggakan oleh para pemeluknya terkadang hanya membuat para pemeluknya lupa akan esensi dirinya sendiri,yaitu adalah bahwa mereka adalah masih dan tetap seorang manusia.Dimulai dengan munculnya julukan in-group dan out-group dalam setiap agama yang membuat kerentanan konflik sosial,semakin membuat stigma buruk eksistensi agama dalam kehidupan modern.
Rasanya akan indah jika kelak suatu wilayah di Indonesia ini tercipta masyarakat yang benar-benar menjunjung tinggi kehidupan atas perasaan humanis dan sekularis. Kehidupan dimana nilai-nilai agama di nomer duakan.Sebuah kehidupan dimana seorang muslim akan bergandengan tangan dengan semua manusia tanpa melihat status agama.



Nafas Marxisme di Lapisan Sejarah Indonesia

            Sebuah Ideologi yang beberapa dekade belakang ini tertulis haram di undang-undang,ternyata justru adalah sebuah ideologi yang mempunyai andil besar dalam revolusi kemerdekaan negeri ini.Fakta bahwa para revolusioner Indonesia bernafaskan ide-ide pemikiran dari para filsuf kiri Eropa adalah direksi yang menunjukan betapa besarnya influensi ide-ide tersebut.
            Sudah semenjak awal 1920-an Republik Indonesia dilahirkan dalam kumpulan paper,bukan Soekarno,Hatta,Wahidin,maupun Subardjo yang melahirkannya,namun dia adalah Tan Malaka.Seorang Indonesian yang pintarnya jauh melampaui para pejuang lainnya.Benar sekali melalui sebuah tulisan dengan judul “Naar de Republik Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) Tan Malaka sudah mempunyai gambaran sebuah negara merdeka yang kelak akan bernama Republik Indonesia,jauh hari sebelum Soekarno memulai tulisannya mengenai Indonesia.
            Kita tidak akan mendapati nama Tan Malaka di dalam buku-bubu pelajaran sejarah di sekolah dari tingkat dasar sampai lanjutan atas,bisa jadi itu adalah sebuah konspirasi era Orde Baru dalam propagandanya terhadap Komunisme dan Sosialisme.Sungguh disayangkan buku-buku Sejarah Indonesia sangat minim dengan tulisan tokoh-tokoh revolusioner seperti Tan Malaka,Chairil Saleh,dan tokoh kiri lainnya.
            Tan Malaka yang merupakan pemimpin PKI gelombang pertama adalah seseorang yang sungguh cerdas,taktis,praktis,teoritis,dan berbagai pujian brilian untuknya.Karya-karya Tan saya kira jauh melampaui karya-karya Soekarno,jika soekarno melahirkan Nasakom maka Tan Malaka dengan otak yang di anugerhakan kepadanya dia menulis sebuah buku pedoman bagi para pemuda penerusnya yaitu adalah MaDiLog sebuah kata yang dihasilkan dari kata “matter-dialektika-logika”.Sebuah buku yang bisa saya sebut karya dari perpaduan Marxisme dan budaya asli Indonesia,dapat dibandingkan dengan “Mein Kampf”-nya Adolf Hitler.Sebuah kabar gembira bahwa akhir-akhir ini buku-buku marxist,sosialis,dan karya Tan Malaka sudah mulai terlihat kembali di Toko Buku Gramedia,setelah sempat sebelumnya menghilang karena kerasnya Orde Baru.
            Belajar dari buku-buku yang menyelipkan nama Tan Malaka dapat membuat setiap orang yang mengaku bernafas Indonesia menjadi lebih maju,sekalipun buku-buku itu adalah karyanya ketika Indonesia belum merdeka.Justru buku-buku sebelum Indonesia merdeka adalah sebuah paper berharga bagi setiap calon pemimpin di masa ini,tentu mereka akan mengerti apa yang di inginkan para revolusioner untuk Indonesia.Tidak hanya itu saja para pemimpin belakangan ini sungguh sangat mengecewakan sekali hasil lima tahunan kepemimpinannya.Pembangunan Ekonomi yang carut marut,kesenjangan sosial,konflik sosial,tata kota yang hancur,dan korupsi adalah fakta bahwa para pemimpin itu tidak mengerti apa yang dirancangkan para revolusiner di belakang sejarah.