MARXISME DAN MAKRIFAT
“Wie, goed Mohammedaan is, is van zelf socialist en wij zijn Mohammedanen, dus zijn wij socialisten.”
Kata-kata itu sering diulang-ulang oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada awal abad ke-20. Dan dia bukan hanya menadaruskan itu secara lisan, melainkan juga menuliskannya. Pada 1924, Tjokro menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Dalam kursus-kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam, Tjokro selalu memberikan kursus mengenai sosialisme.Pada 1951, ketika mengenangkan Tjokro, Buya Hamka menulis:
“Beliau dalam kursusnya tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya, sebab teori Historis Materialisme Marx dan Engels—kata beliau—telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.”
Apa yang disampaikan oleh Tjokro itu belakangan kembali diulang oleh Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka. Dalam karyanya, “Semangat Moeda” (1926), Tan Malaka menulis bahwa agar kaum nasionalis dan kaum Muslim mengerti mengenai proses kolonialisme yang sedang membelenggu negerinya, maka mereka harus belajar Marxisme. Tanpa memahami Marxisme, mereka akan bingung memetakan persoalan politik dan ekonomi yang membelenggu mereka. Dia menulis:
“… oleh karena Nasionalis atau Islamis di negeri kita tak sepeser mengerti Marxisme, yakni keadaan dan kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan berhubung dengan itu politiknya kasta, maka mereka tentu masih bingung, tak mengerti apa-apa…”
Apa yang disampaikan oleh Tjokro dan Tan Malaka itu mengingatkan saya kembali pada percakapan via surel (email) dengan Buya Syafii Maarif mungkin dua tahun silam, ketika saya tertarik membahas Teologi al-Ma’un dan pemikiran Moeslim Abdurrahman. Ada satu ‘highlight’ yang selalu saya catat dari percakapan dengan Buya Syafii itu, bahwa kebanyakan kaum Muslim di Indonesia, mayoritas adalah "Islam Madaniyah", yaitu mereka yang terlalu asyik pada urusan "teologisme" sebagaimana ditadaruskan surat-surat Madaniyah.
Kebanyakan kita sering lupa pada surat-surat Makiyah, yang lahir di tengah kondisi Makah yang penuh penindasan, ketimpangan dan eksploitasi ekonomi, yang oleh karenanya lebih "materialis" dan "historis". Dawam Rahardjo menyebut bahwa surat-surat Makiyah itu sebagai sangat “Marxis”.
Dominannya corak “Islam Madaniyah” telah membuat banyak kaum Muslim gagal untuk terlibat dalam persoalan-persoalan historis kemasyarakatan yang mem-“bumi”, dan lebih banyak terjebak pada percekcokan teologis yang me-“langit”.
Ketika dalam sebuah kesempatan saya mengantarkan Dawam bertandang ke rumah Syafii yang tenang di Nogotirto, menyimak keduanya berbincang mengenai Marxisme, sosialisme, dan Islam, sungguh-sungguh menarik. Dawam adalah seorang Solo, sementara Syafii adalah seorang Minang. Ada satu momen dimana saya dan Dawam tertawa terpingkal-pingkal ketika pada suatu ketika Buya Syafii, ini bahasa saya, menunjukkan sisa-sisa “watak Paderi”-nya.
“Menurut saya, Mas Dawam, jika kita mendalami betul surah-surah Makiyah, sebenarnya tidak perlu belajar Marxis untuk menjadi revolusioner.”
Tentu saja kami terbahak mendengarnya.
Percakapan keduanya kala itu juga selalu mengingatkan saya kepada interpretasi Hidajat Nataatmadja (1932-2009) atas peristiwa Isra dan Mi'raj. Ketika Mi'raj, demikian Hidayat, Nabi dilarang untuk mendekati sebuah pohon, yaitu pohon "sidrah", yang menurut Hidayat adalah nama lain dari pohon "bodhi". Nabi dilarang mendekati pohon itu karena ia diminta oleh Allah untuk menjadi "khalifah di bumi", dan bukan "khalifah di langit".
Kalau kita tarik ke belakang, sebelum di-Mi'raj-kan, Nabi memang terlebih dahulu di-Isra-kan. Secara metaforik, menurut Hidajat, baru sesudah menjelajah bumi, kemudian barulah Nabi dinaikan ke langit.
Renungan yang kini mestinya menguntit kita adalah: bagaimana bisa kita memimpikan surga di akhirat, ketika tangan kita mencipta “neraka” (baca: kekacauan, perselisihan) di bumi?! Bagaimana bisa kita mengharapkan "jannah" di langit, ketika kita tidak terlibat dalam membangun "jannah" di bumi?!
Sampai di sini, saya akan kembali teringat kepada puisi “Daun Makrifat, Makrifat Daun” yang ditulis Kuntowijoyo (1943-2005).
“Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
sampai dhuafa dan mustadh'afin
diangkat Tuhan dari penderitaan”
Tulisan ini di ambil dari laman facebook : Tarli Nugraha
Kata-kata itu sering diulang-ulang oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada awal abad ke-20. Dan dia bukan hanya menadaruskan itu secara lisan, melainkan juga menuliskannya. Pada 1924, Tjokro menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Dalam kursus-kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam, Tjokro selalu memberikan kursus mengenai sosialisme.Pada 1951, ketika mengenangkan Tjokro, Buya Hamka menulis:
“Beliau dalam kursusnya tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya, sebab teori Historis Materialisme Marx dan Engels—kata beliau—telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.”
Apa yang disampaikan oleh Tjokro itu belakangan kembali diulang oleh Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka. Dalam karyanya, “Semangat Moeda” (1926), Tan Malaka menulis bahwa agar kaum nasionalis dan kaum Muslim mengerti mengenai proses kolonialisme yang sedang membelenggu negerinya, maka mereka harus belajar Marxisme. Tanpa memahami Marxisme, mereka akan bingung memetakan persoalan politik dan ekonomi yang membelenggu mereka. Dia menulis:
“… oleh karena Nasionalis atau Islamis di negeri kita tak sepeser mengerti Marxisme, yakni keadaan dan kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan berhubung dengan itu politiknya kasta, maka mereka tentu masih bingung, tak mengerti apa-apa…”
Apa yang disampaikan oleh Tjokro dan Tan Malaka itu mengingatkan saya kembali pada percakapan via surel (email) dengan Buya Syafii Maarif mungkin dua tahun silam, ketika saya tertarik membahas Teologi al-Ma’un dan pemikiran Moeslim Abdurrahman. Ada satu ‘highlight’ yang selalu saya catat dari percakapan dengan Buya Syafii itu, bahwa kebanyakan kaum Muslim di Indonesia, mayoritas adalah "Islam Madaniyah", yaitu mereka yang terlalu asyik pada urusan "teologisme" sebagaimana ditadaruskan surat-surat Madaniyah.
Kebanyakan kita sering lupa pada surat-surat Makiyah, yang lahir di tengah kondisi Makah yang penuh penindasan, ketimpangan dan eksploitasi ekonomi, yang oleh karenanya lebih "materialis" dan "historis". Dawam Rahardjo menyebut bahwa surat-surat Makiyah itu sebagai sangat “Marxis”.
Dominannya corak “Islam Madaniyah” telah membuat banyak kaum Muslim gagal untuk terlibat dalam persoalan-persoalan historis kemasyarakatan yang mem-“bumi”, dan lebih banyak terjebak pada percekcokan teologis yang me-“langit”.
Ketika dalam sebuah kesempatan saya mengantarkan Dawam bertandang ke rumah Syafii yang tenang di Nogotirto, menyimak keduanya berbincang mengenai Marxisme, sosialisme, dan Islam, sungguh-sungguh menarik. Dawam adalah seorang Solo, sementara Syafii adalah seorang Minang. Ada satu momen dimana saya dan Dawam tertawa terpingkal-pingkal ketika pada suatu ketika Buya Syafii, ini bahasa saya, menunjukkan sisa-sisa “watak Paderi”-nya.
“Menurut saya, Mas Dawam, jika kita mendalami betul surah-surah Makiyah, sebenarnya tidak perlu belajar Marxis untuk menjadi revolusioner.”
Tentu saja kami terbahak mendengarnya.
Percakapan keduanya kala itu juga selalu mengingatkan saya kepada interpretasi Hidajat Nataatmadja (1932-2009) atas peristiwa Isra dan Mi'raj. Ketika Mi'raj, demikian Hidayat, Nabi dilarang untuk mendekati sebuah pohon, yaitu pohon "sidrah", yang menurut Hidayat adalah nama lain dari pohon "bodhi". Nabi dilarang mendekati pohon itu karena ia diminta oleh Allah untuk menjadi "khalifah di bumi", dan bukan "khalifah di langit".
Kalau kita tarik ke belakang, sebelum di-Mi'raj-kan, Nabi memang terlebih dahulu di-Isra-kan. Secara metaforik, menurut Hidajat, baru sesudah menjelajah bumi, kemudian barulah Nabi dinaikan ke langit.
Renungan yang kini mestinya menguntit kita adalah: bagaimana bisa kita memimpikan surga di akhirat, ketika tangan kita mencipta “neraka” (baca: kekacauan, perselisihan) di bumi?! Bagaimana bisa kita mengharapkan "jannah" di langit, ketika kita tidak terlibat dalam membangun "jannah" di bumi?!
Sampai di sini, saya akan kembali teringat kepada puisi “Daun Makrifat, Makrifat Daun” yang ditulis Kuntowijoyo (1943-2005).
“Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
sampai dhuafa dan mustadh'afin
diangkat Tuhan dari penderitaan”
Tulisan ini di ambil dari laman facebook : Tarli Nugraha