Rabu, 25 November 2015

Kenangan




Malam menyambung senja

Namun malam tak menyambung nyawa

Bintang menghias malam

Namun bintang tak menghias angan

Gemercik sungai hiasi kanal

Yang hanyutkan rinfu,rasa,dan kenangan

Jalanan bicara pada badan

Bahwa hidup memang kuasa tuhan



Salib di dadamu terlintas dalam memoriku

Membukakan rindu yang telah membeku

Aku ucapkan doa dan kisahku

Terhadap Tuhan sang penyambung rindu







Telah kulupa segenap kisah kasihmu

Meski luka dan paksa yang ku deru

Ramai orang bicara masa lalu

Namun ku tahan rindu akan kasihmu



Hidup panjang menanti di depan

Janganlah kaulupakan aku dan kenangan

Rintangan di depan jangan kau hiraukan

Agar kisah kasih kita dapat terluang


Rabu, 04 November 2015

Refleksi Bingkai Pendidikan Yogyakarta: Jurang Pendidikan antara kota dan daerah




           Beberapa hari lagi usia saya akan menjadi 19 tahun,dengan begitu maka secara tidak langsung saya telah hidup di provinsi Yogyakarta ini selama 19 tahun juga.Dengan melihat kenyataan itu maka cukuplah pengalaman,kisah,dan hasil pengamatan saya terhadap berbagai kehidupan di Yogyakarta ini memenuhi syarat dalam menulis sebuah refleksi suatu kehidupan,tentu saja dalam ilmu disiplin sosiologi,seorang sosiolog diwajibkan untuk sudah melihat dan mengamati suatu realita sosial sebelum dapat memberikan kesimpulan dalam suatu karya ilmiahnya.Namun saya sendiri yang bukan berasal dari seorang yang berlatar pendidikan sosial,tentu saja ada beberapa hal-hal yang mungkin saja saya langgar dalam menulis essay singkat ini,namun meskipun begitu essay singkat ini tidak akan terlalu banyak dalam hal pelanggaran dasar-dasar ilmu sosial.
            Latar belakang pendidikan saya,dimulai dari pendidikan sekolah dasar hingga pendidikan sekolah menengah semua saya lalui di daerah rural,atau kalau dalam disiplin ilmu geografi adalah hinterland,hinterland secara tidak langsung adalah sebuah daerah penyokong kota atau bisa disebut juga nyawa suatu kota,tentu saja karena sebagian besar aktivitas ekonomi di kota,obyek-obyek yang diperjual-belikan adalah hasil dari hinterland.Namun bukan masalah ekonomilah yang akan saya bahas di essay singkat ini,melainkan pendidikan yang saya alami dan tidak saya alami selama saya hidup 19 tahun di provinsi Yogyakarta ini.
            Hal yang paling kentara dalam perbedaan antara pendidikan di kota dan di daerah(hinterland) adalah fasilitas,tentu saja.Jika di kota anak-anak SD,SMP,dan SMA mendapat fasilitas yang terdepan ,lain halnya mereka yang ada di daerah,Jika anak-anak SD,SMP,dan SMA mendapat guru-guru yang terbaik,tentu lain halnya dengan mereka yang ada di daerah.Banyak sekali perbedaan yang mencolok antara kondisi pendidikan di Kota dan di Daerah,anak-anak kota mendapatkan fasilitas perpustakaan kota yang jaraknya mudah dijangkau,namun di daerah dengan luas wilayah yang jauh lebih luas perpustakaan umum hampir tidak memadai,di sleman sendiri ada perpustakaan yang besar namun sayang sekali perpustakaan besar itu nampaknya mustahil dapat memenuhi kebutuhan baca pelajar sleman yang ada di sisi barat,utara,selatan,dan timur.Harusnya dengan mempertimbangkan luas wilayah yang ada di sleman lebih baik membangun perpustkaan yang sebesar perpustakaan kota jalan Suroto no.9 di wilayah sleman namun dapat di jangkau pelajar sleman yang terpisah di barat,timur,selatan,dan utara secara mudah dan tidak jauh.Dalam hal ini sepertinya pemda sleman kurang memikirkan keterjangkauan.
            Kemudian dari segi akademis,tentu saja peringkat pertama dengan kualitas terbaik sdm pelajar adalah wilayah kota,kemudian wilayah bantul baru di sleman,hal yang ironi adalah ketika dulu saya mengikuti olimpiade sains nasional teman-teman yang mewakili kota justru adalah mereka yang berumah tinggal di sleman atau di daerah,menurut saya itu adalah hal yang lumrah,mengingat dengan kondisi kualitas SDM teman-teman saya tersebut akan sangat rugi jika mendapatkan pendidikan di daerah yang kurang dari berbagai segi.Inilah yang harus dilakukan pemda daerah dalam menangani isu masalah pelajar daerah yang belajar di kota.Jika beberapa tahun terkahir kebijakan kuota tidak berlaku disekolah-sekolah kota,tentu bisa saja suatu saat anak-anak sleman yang menjadi pelajar di wilayah kota,lalu anak-anak kota yang justru belajar di daerah.
Siklus antara anak-anak daerah yang belajar di kota kemudian menimbulkan jurang pemisah antara pendidikan kota dan daerah akan menjadi sebuah fenomena sosial yang popoler di kalangan sosiolog dengan istilah “strata pendidikan” benar pendidikan yang berstrata,tentu saja hal itu adalah yang terburuk dari dinamika pendidikan,pendidikan yang berstrata akan lebih parah lagi menimbulkan jurang antara pendidikan kota dan daerah.Di kota ada beberapa SMA yang sering kali mengirimkan anak-anaknya sebagai wakil peserta olimpiade baik itu di tingkat nasional maupun internasional,jelas hal ini akan mendorong universitas-universitas ternama melakukan rekruitmen, seperi Nanyang Tech. University di singapore misalnya,universitas ini adalah yang paling aktif mencari calon mahasiswa juara olimpiade sains.Dengan begitu maka terciptalah suatu stigma mereka yang bersekolah di kota akan kemudia dapat melanjutkan ke universitas ternama di Asia.
Lain halnya di daerah dengan serba ketertinggalanya,jangankan di lirik Nanyang Tech. Univ,masuk ke UGM yang mana adalah universitas yang berdiri di sleman itu sendiri justru sangat sedikit sekali yang berhasil masuk melalui jalur undangan,ironis memang,anak-anak sleman justru kesusahan untuk masuk ke universitas yang sama-sama berdiri di tanah sleman.Nampaknya hal ini kurang diperhatikan pemda sleman juga.
Bercermin dari ketertinggalan dan jurang pemisah antara kota dan sleman,tentulah harapan yang besar bagi siapapun yang akan menjadi pengelola pemerintah daerah agar mampu setidaknya mengimbangi kota,dengan SDM anak sleman yang sama dengan SDM anak kota saya rasa lima hingga sepuluh tahun kedepan anak-anak sleman lah yang akan menjadi wakil Yogyakarta dalam berbagai bidang sains dan teknologi,dan anak-anak sleman lah yang akan menjadi penghuni universitas ternama di Jogja seperti UNY dan UGM.

Selasa, 06 Oktober 2015

Sajak Senja Untuk Gusti


Aku terasing dari kesucian karena dosa
Berlumuran luka dan terbenam dalam hina
Membias samar khayalanku akan Nirwana
Maupun Surga yang disebut dalam sabdaNya
Lalu pada akhirnya
Aku terbangun dari buaian mimpi mimpi senja
Berwudlu lalu berikan nyanyi untuk Nya
TerhadapNya aku curahkan hidup yang kaya dengan derita
Yang terjerat belenggu noda khayalan dalam realita
Gusti,Aku takut
Terhadap fananya harapan dan cahaya
Gusti,Aku Terhanyut
Ke dalam fana dan dosa dunia
Gusti,Aku tertatah
Terhadap nalar yang melawan kasih dan kehadiranMu
Gusti,Aku terjatuh
Ke dalam Jurang duniawi kaya nan imaji
Gusti,Aku mengeluh

Terhadap takdir yang engkau tuliskan.

Minggu, 09 Agustus 2015

MARXISME DAN MAKRIFAT



“Wie, goed Mohammedaan is, is van zelf socialist en wij zijn Mohammedanen, dus zijn wij socialisten.”
Kata-kata itu sering diulang-ulang oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada awal abad ke-20. Dan dia bukan hanya menadaruskan itu secara lisan, melainkan juga menuliskannya. Pada 1924, Tjokro menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Dalam kursus-kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam, Tjokro selalu memberikan kursus mengenai sosialisme.Pada 1951, ketika mengenangkan Tjokro, Buya Hamka menulis:
“Beliau dalam kursusnya tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya, sebab teori Historis Materialisme Marx dan Engels—kata beliau—telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.”
Apa yang disampaikan oleh Tjokro itu belakangan kembali diulang oleh Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka. Dalam karyanya, “Semangat Moeda” (1926), Tan Malaka menulis bahwa agar kaum nasionalis dan kaum Muslim mengerti mengenai proses kolonialisme yang sedang membelenggu negerinya, maka mereka harus belajar Marxisme. Tanpa memahami Marxisme, mereka akan bingung memetakan persoalan politik dan ekonomi yang membelenggu mereka. Dia menulis:
“… oleh karena Nasionalis atau Islamis di negeri kita tak sepeser mengerti Marxisme, yakni keadaan dan kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan berhubung dengan itu politiknya kasta, maka mereka tentu masih bingung, tak mengerti apa-apa…”
Apa yang disampaikan oleh Tjokro dan Tan Malaka itu mengingatkan saya kembali pada percakapan via surel (email) dengan Buya Syafii Maarif mungkin dua tahun silam, ketika saya tertarik membahas Teologi al-Ma’un dan pemikiran Moeslim Abdurrahman. Ada satu ‘highlight’ yang selalu saya catat dari percakapan dengan Buya Syafii itu, bahwa kebanyakan kaum Muslim di Indonesia, mayoritas adalah "Islam Madaniyah", yaitu mereka yang terlalu asyik pada urusan "teologisme" sebagaimana ditadaruskan surat-surat Madaniyah.
Kebanyakan kita sering lupa pada surat-surat Makiyah, yang lahir di tengah kondisi Makah yang penuh penindasan, ketimpangan dan eksploitasi ekonomi, yang oleh karenanya lebih "materialis" dan "historis". Dawam Rahardjo menyebut bahwa surat-surat Makiyah itu sebagai sangat “Marxis”.
Dominannya corak “Islam Madaniyah” telah membuat banyak kaum Muslim gagal untuk terlibat dalam persoalan-persoalan historis kemasyarakatan yang mem-“bumi”, dan lebih banyak terjebak pada percekcokan teologis yang me-“langit”.
Ketika dalam sebuah kesempatan saya mengantarkan Dawam bertandang ke rumah Syafii yang tenang di Nogotirto, menyimak keduanya berbincang mengenai Marxisme, sosialisme, dan Islam, sungguh-sungguh menarik. Dawam adalah seorang Solo, sementara Syafii adalah seorang Minang. Ada satu momen dimana saya dan Dawam tertawa terpingkal-pingkal ketika pada suatu ketika Buya Syafii, ini bahasa saya, menunjukkan sisa-sisa “watak Paderi”-nya.
“Menurut saya, Mas Dawam, jika kita mendalami betul surah-surah Makiyah, sebenarnya tidak perlu belajar Marxis untuk menjadi revolusioner.”
Tentu saja kami terbahak mendengarnya.
Percakapan keduanya kala itu juga selalu mengingatkan saya kepada interpretasi Hidajat Nataatmadja (1932-2009) atas peristiwa Isra dan Mi'raj. Ketika Mi'raj, demikian Hidayat, Nabi dilarang untuk mendekati sebuah pohon, yaitu pohon "sidrah", yang menurut Hidayat adalah nama lain dari pohon "bodhi". Nabi dilarang mendekati pohon itu karena ia diminta oleh Allah untuk menjadi "khalifah di bumi", dan bukan "khalifah di langit".
Kalau kita tarik ke belakang, sebelum di-Mi'raj-kan, Nabi memang terlebih dahulu di-Isra-kan. Secara metaforik, menurut Hidajat, baru sesudah menjelajah bumi, kemudian barulah Nabi dinaikan ke langit.
Renungan yang kini mestinya menguntit kita adalah: bagaimana bisa kita memimpikan surga di akhirat, ketika tangan kita mencipta “neraka” (baca: kekacauan, perselisihan) di bumi?! Bagaimana bisa kita mengharapkan "jannah" di langit, ketika kita tidak terlibat dalam membangun "jannah" di bumi?!
Sampai di sini, saya akan kembali teringat kepada puisi “Daun Makrifat, Makrifat Daun” yang ditulis Kuntowijoyo (1943-2005).
“Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
sampai dhuafa dan mustadh'afin
diangkat Tuhan dari penderitaan”

Tulisan ini di ambil dari laman facebook : Tarli Nugraha

Senin, 03 Agustus 2015

On The Fear of Expectation

         Tidak ada satu pun,anak yang lahir dari rahim seorang perempuan meminta untuk lahir,tidak ada satu pun anak yang dapat memilih lingkungan seperti apa yang kelak akan menemani hidupnya,tidak ada satu pun anak yang kelak akan menjadi manusia dapat memlih terlahir sebagai seorang muslim, kristen, yahudi, hindu,jawa, batak, negro,melayu maupun seorang yang terlahir dalam sebuah keluarga dan lingkungan primitif.
          Pada dasarnya seorang anak hanyalah seorang yang tidak tahu apa-apa terhadap ekpektasi yang diinginkan orang tua kelak ketika dewasa.Dunia yang menuntut setiap manusia agar segalanya harus sempurna adalah sebuah hantu yang selalu membuat setiap manusia tidak dapat merasakan betapa indahnya panorama langit senja di setiap sudut sore belahan bumi.
          Keturunan Adam yang tanpa perasaan menumpahkan air kehidupan ke dalam telaga Hawa sesungguhnya adalah suatu bencana kemanusiaan dalam sejarah hidupnya sendiri. Betapa mudahnya keturunan Adam dan Hawa bersenang-senang lalu meninggalkan tanggung jawab atas nafsu kilat mereka adalah bukti betapa mengerikannya sisi gelap setiap manusia.
          Tuhan tidak akan pernah berbicara langsung terus terang kepada manusia,Tuhan seakan meninggalkan manusia dan hanya meninggalkan kalimat-kalimat dialogNya kepada segilintir manusia di Dunia.Kumpulan kalimat yang pada akhirnya terangkum menjadi sebuah buku yang merupakan kitab suci.Namun manusia tetaplah manusia, manusia pada akhirnya lah pula yang merusak indahnya kalimat suci Tuhan.  Bukankah manusia itu sendiri yang selalu menghiasi isi kitab suci melalui tumpahan darah,tindakan keji,dan pada akhirnya satu per satu manusia mulai berpaling dari kitab suci.
         










On The Delusion of God’s Light

            Dalam tulisan ini saya akan mencantumkan beberapa budaya-budaya dan fenomena sosial yang ditimbulkan oleh sosok Tuhan teutama yang selama ini terjadi lingkungan hidup yang saya alami.Pertama saya akan mengeluarkan semua hal yang ada di dalam pikiran saya selama saya hidup selama delapan belas tahun ini,dimulai ketika saya dilahirkan tahun 1996 sampai pada tahun ini 2015.
Baiklah,saya adalah anak pertama dari dua bersaudara.Kebetulan saya dilahirkan di keluarga muslim yang bisa dibilang taat,sejak kecil saya diajarkan berbagai cara hidup atas dasar perintah Islam.Hampir setiap sore ketika saya mulai memasuki umur lima tahun selalu mengikuti acara rutin TPA (Tempat Pendidikan Al-Quran).Keingintahuan saya mengenai hal-hal yang baru sangat kuat sekali.Bahkan saya masih ingat ketika memasuki sekolah dasar di kelas satu waktu pelajaran pendidikan agama Islam,dengan penuh keheranan ketiks guru menjelaskan sosok Tuhan saya langsung bertanya,”Bu,Tuhan itu seperti apa,ada di mana?” sontak guru pun menjelaskan sosok Tuhan yang berbeda dari ciptaanya,tinggal di atas arsy,katanya.
Memasuki SMP saya masihlah seorang yang dapat di bilang rajin sembahyang kepada Tuhan,hampir setiap terdengar suara adzan,saya langsung pergi ke Masjid.Masa-masa SMP adalah masa dimana saya merasakan bahwa saya begitu spesial karena selalu rajin beribadah, masa dimana saya menganggap muslim adalah yang terbaik, hanya muslim yang masuk surga, masa dimana saya mempercayai sosok Tuhan seperti apa yang selalu di munculkan di dalam otak saya, dengan penuh keyakinan saya selalu menantikan adzan panggilan untuk shalat.
Lalu masa-masa seperti itu perlahan mulai kabur seiring saya mulai mengenal berbagai budaya di dunia,berbagai agama,berbagai pandangan filosofi manusia hebat di eropa,arab,asia,dan sejarah Tuhan selama kemunculan awal manusia sampai abad milenium.Masa ini adalah ketika saya mulai memasuki kehidupan SMA di mulai dengan ketertarikan terhadap komunisme,atheisme,dan filsafat akhirnya mengantarkan saya pada pandangan bahwa Tuhan itu ada namun tidak dapat dijangkau manusia.Dimulai dengan pola pikir saya bahwa jika Tuhan seorang muslim itu adalah yang paling benar maka bagaimana dengan nasib non-muslim,apakah Tuhan akan dengan mudahnya melemparkan mereka ke dalam neraka,bagaimana jika non-muslim tersebut secara kebetulan lahir di Bali beragama Hindu namun memiliki etika moral,seorang humanist,dan bahkan seorang donatur kemanusiaan yang baik,apakah juga akan dilemparkan ke neraka hanya karena dia adalah non-muslim.

Dijelaskan Tuhan dalam versi Islam dan Samawi adalah Maha atas Segalanya,bahkan dikatakan bahwa Tuhan telah menuliskan takdir yang manusia jauh hari sebelum manusia memiliki ruh.Lalu jika benar bahwa Tuhan telah menuliskan semua takdir manusia jadi bukanlah kesalahan manusia jika kelak manusia tidak mengenal Tuhanya dan secara kebetulan terlahir sebagai non-muslim.
Agama yang selama ini dibanggakan oleh para pemeluknya terkadang hanya membuat para pemeluknya lupa akan esensi dirinya sendiri,yaitu adalah bahwa mereka adalah masih dan tetap seorang manusia.Dimulai dengan munculnya julukan in-group dan out-group dalam setiap agama yang membuat kerentanan konflik sosial,semakin membuat stigma buruk eksistensi agama dalam kehidupan modern.
Rasanya akan indah jika kelak suatu wilayah di Indonesia ini tercipta masyarakat yang benar-benar menjunjung tinggi kehidupan atas perasaan humanis dan sekularis. Kehidupan dimana nilai-nilai agama di nomer duakan.Sebuah kehidupan dimana seorang muslim akan bergandengan tangan dengan semua manusia tanpa melihat status agama.



Nafas Marxisme di Lapisan Sejarah Indonesia

            Sebuah Ideologi yang beberapa dekade belakang ini tertulis haram di undang-undang,ternyata justru adalah sebuah ideologi yang mempunyai andil besar dalam revolusi kemerdekaan negeri ini.Fakta bahwa para revolusioner Indonesia bernafaskan ide-ide pemikiran dari para filsuf kiri Eropa adalah direksi yang menunjukan betapa besarnya influensi ide-ide tersebut.
            Sudah semenjak awal 1920-an Republik Indonesia dilahirkan dalam kumpulan paper,bukan Soekarno,Hatta,Wahidin,maupun Subardjo yang melahirkannya,namun dia adalah Tan Malaka.Seorang Indonesian yang pintarnya jauh melampaui para pejuang lainnya.Benar sekali melalui sebuah tulisan dengan judul “Naar de Republik Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) Tan Malaka sudah mempunyai gambaran sebuah negara merdeka yang kelak akan bernama Republik Indonesia,jauh hari sebelum Soekarno memulai tulisannya mengenai Indonesia.
            Kita tidak akan mendapati nama Tan Malaka di dalam buku-bubu pelajaran sejarah di sekolah dari tingkat dasar sampai lanjutan atas,bisa jadi itu adalah sebuah konspirasi era Orde Baru dalam propagandanya terhadap Komunisme dan Sosialisme.Sungguh disayangkan buku-buku Sejarah Indonesia sangat minim dengan tulisan tokoh-tokoh revolusioner seperti Tan Malaka,Chairil Saleh,dan tokoh kiri lainnya.
            Tan Malaka yang merupakan pemimpin PKI gelombang pertama adalah seseorang yang sungguh cerdas,taktis,praktis,teoritis,dan berbagai pujian brilian untuknya.Karya-karya Tan saya kira jauh melampaui karya-karya Soekarno,jika soekarno melahirkan Nasakom maka Tan Malaka dengan otak yang di anugerhakan kepadanya dia menulis sebuah buku pedoman bagi para pemuda penerusnya yaitu adalah MaDiLog sebuah kata yang dihasilkan dari kata “matter-dialektika-logika”.Sebuah buku yang bisa saya sebut karya dari perpaduan Marxisme dan budaya asli Indonesia,dapat dibandingkan dengan “Mein Kampf”-nya Adolf Hitler.Sebuah kabar gembira bahwa akhir-akhir ini buku-buku marxist,sosialis,dan karya Tan Malaka sudah mulai terlihat kembali di Toko Buku Gramedia,setelah sempat sebelumnya menghilang karena kerasnya Orde Baru.
            Belajar dari buku-buku yang menyelipkan nama Tan Malaka dapat membuat setiap orang yang mengaku bernafas Indonesia menjadi lebih maju,sekalipun buku-buku itu adalah karyanya ketika Indonesia belum merdeka.Justru buku-buku sebelum Indonesia merdeka adalah sebuah paper berharga bagi setiap calon pemimpin di masa ini,tentu mereka akan mengerti apa yang di inginkan para revolusioner untuk Indonesia.Tidak hanya itu saja para pemimpin belakangan ini sungguh sangat mengecewakan sekali hasil lima tahunan kepemimpinannya.Pembangunan Ekonomi yang carut marut,kesenjangan sosial,konflik sosial,tata kota yang hancur,dan korupsi adalah fakta bahwa para pemimpin itu tidak mengerti apa yang dirancangkan para revolusiner di belakang sejarah.